Wae Rebo, Negeri Atas Angin
Negeri diatas awan, mungkin itulah sebutan yang pantas untuk Wae Rebo sebuah kampung tradisional di dusun terpencil di desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebutan negeri diatas awan bagi Wae Rebo memang pantas, mengingat kampungini terletak diketinggian 1000 m diatas permukaan laut. Selain diapit oleh gunung, kampung yang pada zaman Belanda dikukuhkan sebagai daerah Enklave ini juga berada di dalam hutan lebat dan jauh dari perkampungan tetangga.
Sejarah berawal dari seseorang bernama Maro datang dan menetap di kampung Wae Rebo. Dikisahkan bahwa Maro datang bersama saudaranya bernama Bimbang. Maro memilih untuk menempati lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang menjadi cikal bakal kampung Wae Rebo ini setelah dia hidup secara nomaden. Sedangkan Bimbang memilih untuk mencari kampung lain. Sayangnya kisah ini berhenti sampai disini. Banyak warga masyarakat Wae Rebo sendiri lupa atau bahkan tidak tahu mengenai cerita lanjutan yang menjadi mitos sejarah Wae Rebo. Hal tersebut tidak lain karena usia kampung Wae Rebo sudah memasuki generasi ke-18. Generasi pertama pun tercatat sudah meninggal. Secara matematis kampung Wae Rebo saat ini berusia kurang lebih 108 tahun dengan 88 kepala keluarga atau sekitar 1200 jiwa pada tahun 2009.
Di Manggarai sendiri menyebar tiga kabupaten di ujung Barat Pulau Flores yakni kabupaten Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat. Wae Rebo adalah salah satu kampung adat tradisional satu-satunya yang masih tersisia di tiga kabupaten Manggarai yang masih terjaga keasliannya serta masih tertata rapi kelestarian kampungnya. Hal tersebut tidak lain karena warga setempat tetap memegang teguh adat istiadat mereka.
Untuk mencapai Wae Rebo, harus melintasi kawasan hutan yang hampir bisa dikatakan belum pernah terjamah. Hutan masih asri dan rimbun disertai dengan satwanya yang lengkap. Ketika anda memasuki hutan, akan disambut dengan kicauan burung Pacycepal yang seolah turut mengiringi langkah anda.
Leluhur Wae Rebo mewariskan 7 buah rumah adat, dimana tiga diantaranya sudah punah dimakan usia. Saat ini hanya tersisa 4 rumah adat yang masih berdiri kokoh dikampung Wae Rebo. Rumah adat Wae Rebo ini dikenal dengan sebutan ‘ Mbaru Niang ‘ (rumah bundar berbentuk kerucut ). Mbaru niang terdiri dari 5 tingkatan. Masing-masing tingkatan memiliki fungsinya sendiri. Tingkat pertama adalah ‘Lutur‘ yang berarti tenda. Tingkatan ini digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat. Tingkat kedua adalah ‘Lobo’ yakni loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang – barang lainnya. Tingkat ketiga adalah ‘lentar yang digunakan untuk menyimpan benih – benih seperti jagung, padi dan kacang – kacangan, dan lain-lain. Tingaat keempat ‘Lempa Rae’ sebagai tempat stok makanan cadangan yang digunakan ketika terjadi gagal panen atau musim kemarau berkepanjangan. Tingkat kelima adalah ‘Hekang Kode ‘ yang digunakan untuk menyimpan langkar, yakni semacam anyaman dari bambu berbentuk persegi guna menyimpan sesajian untuk dipersembahkan pada leluhur.
Wae Rebo merupakan negeri diatas awan tempat dimana harmoni ditiupkan keseluruh penjuru daerahnya. Masyarakat hidup rukun dan harmonis meskipun dengan kondisi sederhana. Angin dingin serta keterbatasan yang ada juga tidak dijadikan sebagai halangan bagi masyarakat setempat untuk tetap menjaga dan melestarikan salah satu kekayaan bumi nusantara ini.
Sejarah berawal dari seseorang bernama Maro datang dan menetap di kampung Wae Rebo. Dikisahkan bahwa Maro datang bersama saudaranya bernama Bimbang. Maro memilih untuk menempati lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang menjadi cikal bakal kampung Wae Rebo ini setelah dia hidup secara nomaden. Sedangkan Bimbang memilih untuk mencari kampung lain. Sayangnya kisah ini berhenti sampai disini. Banyak warga masyarakat Wae Rebo sendiri lupa atau bahkan tidak tahu mengenai cerita lanjutan yang menjadi mitos sejarah Wae Rebo. Hal tersebut tidak lain karena usia kampung Wae Rebo sudah memasuki generasi ke-18. Generasi pertama pun tercatat sudah meninggal. Secara matematis kampung Wae Rebo saat ini berusia kurang lebih 108 tahun dengan 88 kepala keluarga atau sekitar 1200 jiwa pada tahun 2009.
Di Manggarai sendiri menyebar tiga kabupaten di ujung Barat Pulau Flores yakni kabupaten Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat. Wae Rebo adalah salah satu kampung adat tradisional satu-satunya yang masih tersisia di tiga kabupaten Manggarai yang masih terjaga keasliannya serta masih tertata rapi kelestarian kampungnya. Hal tersebut tidak lain karena warga setempat tetap memegang teguh adat istiadat mereka.
Untuk mencapai Wae Rebo, harus melintasi kawasan hutan yang hampir bisa dikatakan belum pernah terjamah. Hutan masih asri dan rimbun disertai dengan satwanya yang lengkap. Ketika anda memasuki hutan, akan disambut dengan kicauan burung Pacycepal yang seolah turut mengiringi langkah anda.
Leluhur Wae Rebo mewariskan 7 buah rumah adat, dimana tiga diantaranya sudah punah dimakan usia. Saat ini hanya tersisa 4 rumah adat yang masih berdiri kokoh dikampung Wae Rebo. Rumah adat Wae Rebo ini dikenal dengan sebutan ‘ Mbaru Niang ‘ (rumah bundar berbentuk kerucut ). Mbaru niang terdiri dari 5 tingkatan. Masing-masing tingkatan memiliki fungsinya sendiri. Tingkat pertama adalah ‘Lutur‘ yang berarti tenda. Tingkatan ini digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat. Tingkat kedua adalah ‘Lobo’ yakni loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang – barang lainnya. Tingkat ketiga adalah ‘lentar yang digunakan untuk menyimpan benih – benih seperti jagung, padi dan kacang – kacangan, dan lain-lain. Tingaat keempat ‘Lempa Rae’ sebagai tempat stok makanan cadangan yang digunakan ketika terjadi gagal panen atau musim kemarau berkepanjangan. Tingkat kelima adalah ‘Hekang Kode ‘ yang digunakan untuk menyimpan langkar, yakni semacam anyaman dari bambu berbentuk persegi guna menyimpan sesajian untuk dipersembahkan pada leluhur.
Wae Rebo merupakan negeri diatas awan tempat dimana harmoni ditiupkan keseluruh penjuru daerahnya. Masyarakat hidup rukun dan harmonis meskipun dengan kondisi sederhana. Angin dingin serta keterbatasan yang ada juga tidak dijadikan sebagai halangan bagi masyarakat setempat untuk tetap menjaga dan melestarikan salah satu kekayaan bumi nusantara ini.
Menarik sekali. Bisakah foto paling atas saya beli? Mohon inbox di ibeth.room@gmail.com terima kasih :)